Jumat, 01 Mei 2015 |

Keluarga pertamaku di Solo


Senja pertama d jawa.
Aku dijemput oleh my lovely sister, Mbak Afrini bersama suaminya Mas Gunawan di bandara Jogyakarta. Mbak Afrini adalah saudara sefiqrohku yang tengah lama aku kenal di dunia maya. Seberkas kepercayaan yang diikat oleh ukhuwah akhirnya mempertemukan kita di dunia nyata yang disaksikan oleh sepotong senja dan bandara Adisucipto.

Mbak Afrini dan suaminya adalah keluargaku pertama disolo. Aku nggak punya keluarga atau kerabat di Solo, keberangkatanku bermodal ridho dan bismillah.
Awalnya orangtua khawatir dengan keberangkatanku karena mereka pun belum mengenal mbak Afrini, apalagi aku hanya memperkenalkan mbak App kepada mama papa lewat udara dan dunia maya. 
Dengan kekuatan doa dan keyakinan yang kuat akhirnya mama papa pun ridho melepas putri sulungnya untuk merantau ke luar kota. Solo Sukarta, 10 sepertember 2014.

Segera ku angkat telvon genggamku untuk memberitahu mbak App aku baru saja tiba . Saat semua barang-barangku sudah ku dekap aku segera keluar ruangan mencari sesosok kakak asal palembang. Katanya ia memakai jilbab merah berkacamata. Kita pun saling mencari dengan membawa sekeping rasa dan harapan bahwa yang dicari udah didepan mata.
“Mbak Afrini ya?” aku melempar senyum lebih awal dengan meyakini sepenuh hati bahwa aku nggak akan salah orang karena wajah yang ada dihadapanku sudah tersimpan rapi lebih dulu sebelum pertemuan dibandara. Yaa, wajah ini sudah familiar di layar handphoneku. Dan sudah ini orangnya.
“Iyaa, Muti’ah ya?” kita pun saling salim dan berpelukan. Kulihat suaminya segera membantu membawa beberapa bawaanku. Palish polo berwarna hitam dan Eiger  back packerku. Suaminya sempat kewalahan mengangkat semua barangku, aku sampe tak tega melihatnya.Subhanallah... mereka keluarga pertamaku di solo.

Rencana awal kita naiknya kereta jogja- solo. Tapi ternyata tiketnya habis dan akhirnya kita naik bis. Aku udah menawarkan diri untuk memanggil taksi, tapi suaminya ngk mengizinkan.  Aku pun menikmati kepingan- kepingan senja menuju solo bersama bis ekonomi. Saat naik aku tidak segera mendapat tempat duduk , kita semua berdiri. Koper dan bawaanku udah di rapikan oleh suami mbak app diatas kabin bis dan aku masih tetap menggendong tas ranselku yang sarat muatan dan berpotensi membuat punggungku melengkung kebelakang.

15 menit kemudian seorang ibu  berdiri dekat pintu dan memberi aku kode untuk duduk ditempatnya. Ibu itu sebentar lagi akan turun dan aku segera menuju tempatnya.
Alhamdulillah akhirnya aku duduk juga. Duduknya disamping jendela. Memotret rumah-rumah yang berlarian dari layar kacar yang berdebu. Merekam bangunan-bangunan tinggi dan tempat wisata sepanjang kota jogja menuju solo.

Tiba-tiba pengamen masuk menerobos kepadatan penumpang dan berdiri tepat disampingku. Ia melagukan lagu kenanangan tempo dulu “ Sepanjang jalan kenangan...,kita selalu bergandeng tangan....” Suara merdunya menghipnotis kelopak sehingga wajahku seketika membentuk anak sungai yang berair kecil. Aku berusaha serapi mungkin untuk menyembunyikan wajah basahku kepada orang sekitar, khususnya yang duduk disampingku. Bayanganku seketika melukis wajah ibu, ayah, dan adikku di Gorontalo. Lagu itu menggalaukan rindu. Baru ku sadari ternyata aku sekarang akan memulai perjalanan  mimpiku yang ke 8 yang telah kutulis 5 tahun yang lalu di peta kehidupanku.
“Mondok tahfidz dan bahasa arab di luar daerah setelah sarjana”. 

 Aku harus kuat dan tak boleh hanyut dengan pahitnya rindu kepada orang-orang terkasih. Ini adalah pilihanku dan aku harus berani memulai perjalanan ini dengan sebongkah pengorbanan, termasuk mengorbankan orang-orang terdekatku.

Kepingan senja yang dari tadi menyambut kedatanganku lirih menguatkanku bahwa aku merantau untuk menolong agama Allah, untuk belajar agama Allah dan barangsiapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga.
Allah dan para Malaikat sampai semut di lubangnya dan ikan di laut bersholawat kepada pengajar kebaikan pada orang lain, dan itu adalah cit-cita tertinggiku dari dulu mengamalkan ilmu dikemudian hari . Batinku mencoba mengalahkan rasa rindu pada kampung halaman yang baru saja aku tinggalkan beberapa jam yang lalu.

Aku pun segera menggunting rinduku seketika dan menyimpannya kembali ke kotak senja.
Terimakasih senja kau telah menyambutku dengan kekuatan langit dilorong sempit yang bernama masa. Demi masa dan demi waktu  Aku akan selalu menikmatimu dengan caraku karena ku tau walaupun hanya sekeping waktu yang kau sediakan tak banyak orang menikmatimu seperti menikmati hidangan langit.

Ini hanya antara aku, senja,  ba’da magrib dan isya.....
Gorontalo- makasar -Jogja -Solo -,  10 sepetember 2014 saat aku di angka 23

*bersambung di senja,langit berikutnya

0 senja: