“Mbak gimana dong?”
“Aduuh mbak kenapa belakangan ini
seluruh penghuni asrama digalaukan sama nikah?”
Percakapan dua sahabat tertangkap
oleh telingaku yang saat itu sementara memperbaiki centengan baju. “Ciyee..
ciyee... siapa tuh?”. Aku menggoda mereka yang akhir-akhir ini suka bahas soal
nikah, kriteria pasangan, bla bla bla... pokoknya all about marrried , something like that.
“eh mbak kayaknya cuman
mbak Muti’ deh yang adem-adem aja ?”
Seketika si hafidzah itu
menceletukkan suaranya kembali kepada Mbak Voikuka yang sementara menemaninya
mengiris sayur kangkung. Masih saja terdengar olehku tapi dengan nada berbisik.
“Ya iyalah secara dia kan
target nikahnya di usia 30” .
“ Apaaaaa ........?!!!!” si
hafidzah itu memecahkan riak suaranya ke hadapanku dengan wajah kaget. Kak Voikuka pun menyindirku setengah bercanda sambil
mengarahkan alis matanya ke arahku.
Aku memprotes kata-kata
ledekan dari penulis dan design grafis itu .
“Apaa enak aja.. ih emang siapa yang
mau nikah usia 30. Iiih.. mbaaak udah melebih-lebihkan angkanya deh,” Aku
mengarah ke mbak voikuka yang berusaha menghindari cubitan jengkelku.
“Nggak apa-apakan aku tambah
sedikit angkanya” .Tukas mbak Voikuka yang suka sekali dengan bunga dendelion
itu.
Sebenarnya itu adalah sindiran
halus bagiku karena mereka sebagian tau bahwa aku memetakan soal pernikahan
pada nomor urut kesekian setelah nomor pertama dikhatamkan.
Kita semua tertawa,
pecah berserakan ke dinding-dinding asrama. Topik yang begitu sensi yang
tak pernah habis dibahas.
“Lah emang mbak muty’ target usia
nikahnya kapan? Eh mbak usianya tahun ini udah 24 loh”
Lidahku mendadak kelu,
pertanyaan yang ingin sekali aku hindari. Karena jawabannya adalah sebuah
misteri ilahi yang tak bisa kudeteksi kapan jawaban itu telah ditulis.
Aku pura-pura mencari alibi dan
mengalihkan percakapan.
“Allahu’alam, semoga di waktu
yang tepat”. Berharap tak ada lagi pertanyaan yang menggoda.
***
Seringkali aku mendapat nasehat anggun untuk segera menyegerakan separoh agama dalam waktu dekat ini.
Entah itu dari Guruku, Kakak mentorku dan beberapa sahabat terdekat yang sudah
lama terjalin hubungan emosional dengaku.
Tapi ternyata aku masih
menyerahkan proposal itu ke langit untuk meminta kepastian kapan waktu yang
tepat setelah ikrarku padaNya telah terpenuhi. Ini hanyalah ketepatan, ketepatan waktu dan ketepatan Janji. Janji yang telah kususun rapi
dalam malam panjang diatas pergelaran sajadah.
Ada satu hal yang buat aku
iba dalam diam , dan menjadi catatan pelangiku ketika membaca sebuah persepsi
yang mungkin sedikit berbeda dengan kenyataan. Iyaa... ituuu, statement
sebagian orang disekelilingku yang menjugde aku akan menyesal suatu saat nanti
karena belum menerima si A hanya karena ada muatan materi dengan berbagai cerita horor yang menakut-nakutiku jika aku menolak tawaran
kebaikan itu.
Adapun yang mendramatisir cerita
bahwa aku terlalu high level dan bla bla.. Aku tau niat baik mereka adalah
bentuk kasih sayang terhadap saudara, apalagi jika orientasinya hanya
karena memiliki bendera yang sama, tapi jika sudah ada muatan ambigu yang
menjadi muqodimah apalagi secuil paksaan , apakah ini masih nyaman untuk
di resapi?
Sebenarnya siapa sih yang tak
berkeinginan untuk menikah? Ini adalah bentuk kalimat retoris yang jawabanya
sudah jelas-jelas terbaca. Namun salahkan aku untuk sementara waktu ini masih
ingin mengasing diri dari gugusan aksara yang bertemakan “nikah” ? Ini
bukan berarti aku tak ingin menikah dan tak memiliki rasa untuk menuju ke sana,
tapi kondisilah yang melatarbelakangi semua ini. Pun waktu yang memiliki
peran penting untuk menyiapkan segalanya untukku, salahkah jika waktu yang
tepat itu ku simpan rapi dulu dalam keheningan langit? Salahkan aku jika
mengedepankan ilmu dulu sebelum menikah?
Bagiku kelezatan menikah
merupakan puncak dari kenikmatan jasad dan badan secara lahiriah yang harus
kita santap ketika telah siap dihidangkan.
Namun saat kita sudah mendapat
undangan dari siapa saja,tak sopankah jika meminta diri agar memetakan
isi menu hidangan sesuai dengan prinsip dasar ilmu dulu ? untuk apa? sebagai
langkah awal dalam menikmati kelezatan menikah. Ilmu dan mental
merupakan bahan dasar dan bahan pokok dalam membangun kelezatan hati dan ruh
dalam mengenal Allah. Caranya bagaimana ? Mengetahui hukum-hukum serta
syariatnya.
Apabila memungkinkan untuk
menyatukan kedua kelezatan itu dengan cara yang halal maka itu adalah
bentuk kesempurnaan. Namun kondisiku mengisyaratkan bahwa aku tidak
memungkinkan untuk meraih keduanya secara bersamaan kecuali dengan mengorbankan salah satunya
Mimpi utamaku masih sementara ku
rajut dengan segenap rasa yang ingin fokus. Tak ingin gegabah menduakan mimpi
itu dan menggantikan kedudukan posisinya dengan sesuatu yang sama-sama baik
juga.
"Fokus belajar dulu
yah Ty’ kamu harus fokus dulu dalam menuntut ilmu. Jika Alquran telah berhasil
melekat lisan, hati dan pikiranmu, bahkan bercumbu dengan darahmu maka tak usah
risau dengan skenario Allah untukmu. Tak usah risau dengan kondisi ekonomi,
pendidikan, keuangan apalagi pasangan. Ketika engkau telah berhasil membuat
Allah jatuh cinta dengan tabungan hafalanmu maka tidak ada yang mustahil baginya untuk
meninggikan derajatmu dan memberimu melebihi dari yang kamu harapkan.”.
Demikian nasehat saudaraku
yang sangat bijak sekali ketika menghadapi sebuah persoalan. Dia telah
menikah di usia mudah dengan seorang istri yang juga memiliki kharisma ilmu
pengetahuan yang tinggi sama seperti dirinya. Seorang hafidz dan seorang
penulis. Namanya Abdul Razak Hulalata. Beliau Selalu saja ia memompa semangat
para pembelajar agar tak berbalik arah pada niat dan tujuan utama dalam
menuntut ilmu.
Bisa jadi ini ujian bagi sang
penuntut ilmu. Tugasku sekarang mencari perhatian dulu sama Allah, berusaha
memperbaiki diri dengan cermin yang lebih bersih agar kelak aku tak keliru
melihat mana permata dan mana batu kerikil. Begitulah perumpamaan dunia dan
akherat.
Setinggi apapun ilmu yang ingin
ku jadikan batu dasar dan makanan pembukaku, aku tetaplah wanita yang
bercita-cita menjadi makmum bagi suamiku nanti, menjadi istri dan ibu yang
bijak, baik serta pelengkap yang menyempurnakan bagi suami dan anak-anakku
kelak. Makanan ini adalah bekal dan investasiku bersama keluarga langit,
senja dan cahaya.
Yang jelas setiap orang itu punya
cerita masing-masing. Cuman mungkin kadang kita terlalu buta dengan apa yang
tampak. So we do judge the people. Apakah kita cukup terbuai dengan tampilan
semu atau cukup berani mengupas hingga bertemu dengan apa yang namanya topeng?.
Yap inilah yang disebut behind the scene.
Behind the scene itu tidak
selamanya bagus dan se sempurna apa yang kita lihat dilayar, karena kadang
ketika kita tau apa yang berada di belakang layar persepsi kita akan berubah.
So do not judge me with your word, kita punya drama keluarga yang berbeda. Nada
artikulasi kita pun kadang iramanya sangat berbeda.
Sama halnya dengan ketika kita
makan disebuah resto dengan hidangan makanan yang disajikan begitu menggilas
air liur, enak banget dan kemudian kita melahapnya dengan kenyang sampe puas.
Tapi coba kalau setelah kita lihat proses bikinya ternyata dapurnya kotor
banget, belum lagi liat proses pemotongan ayamnya yang tidak dibaca bismillah
dan disembelih dengan kasar. Apakah ketika makanan itu disajikan kembali kita
berubah pikiran atau nafsu makan kita hilang?
Mengukur kemampuan orang lain
dengan ukuran kita sendiri terlalu subjektif menurutku. Ketika kita
menilai orang itu sudah mampu dalam ilmu apa saja dan realitanya ternyata dia
masih merangkak sambil manangis darah atas kebodohannya dan masih membutuhkan
pijakan agar bisa berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh langit, apakah kita
tega mencetak dirinya sebelum matang berdasarkan apa yang kita mau hanya karena
sebuah orientasi? hmm ^__^
Kawan.. Sel-sel otak pada wanita
itu lebih sedikit dari laki-laki. Animo untuk mencari ilmu lebih banyak kepada
wanita. Kenapa? Karena wanita itu kurang dari sisi agama dan akal. Urgensi
dirosah islamiyah bagi wanita itu yang ku ketahui 2 wanita = 1 laki-laki.
Kenapa? Karena wanita itu memorinya kurang, pelupa. Kurang jeli , akurasinya
kurang ,lebih dominasi perasaan dibanding logika. Wanita itu memiliki kekurangan akal dari sisi agama dan fakta berbicara bahwa kecerdasan anak itu mewarisi kecerdasan dari ibunya, dan aku tak ingin mewarisi kebodohan agamaku kepada anak-anakku .
Ini adalah sekeping alasan
kenapa aku masih ingin mencari bahan baku untuk kehidupanku setelahnya. Semoga senja dan pelangi memaklumi pilihanku, dan juga
kau yang masih anonim tersimpan rapi di kitab lauhul mahfudz.
Allahu’alam
#Still pembelajar yang masih
butuh bahan dasar. Solo, dengan segala cerita yang masih remang.
0 senja:
Posting Komentar