Jumat, 15 Mei 2015 |

Ketika ilmu dan Nikah mengetuk pintu



“Mbak gimana dong?”
“Aduuh mbak kenapa belakangan ini seluruh penghuni asrama digalaukan sama nikah?”

Percakapan dua sahabat tertangkap oleh telingaku yang saat itu sementara memperbaiki centengan baju. “Ciyee.. ciyee... siapa tuh?”. Aku menggoda mereka yang akhir-akhir ini suka bahas soal nikah, kriteria pasangan, bla bla bla... pokoknya all about marrried , something like that.

“eh  mbak kayaknya cuman mbak Muti’  deh yang adem-adem aja ?”
 Seketika si hafidzah itu menceletukkan suaranya kembali kepada Mbak Voikuka yang sementara menemaninya mengiris sayur kangkung. Masih saja terdengar olehku tapi dengan nada berbisik.

 “Ya iyalah secara dia kan target nikahnya di usia 30” .

“ Apaaaaa ........?!!!!” si hafidzah itu memecahkan riak suaranya ke hadapanku dengan wajah kaget. Kak Voikuka pun menyindirku setengah bercanda sambil mengarahkan alis matanya ke arahku.

Aku memprotes kata-kata ledekan dari penulis dan design grafis itu .
“Apaa enak aja.. ih emang siapa yang mau nikah usia 30. Iiih.. mbaaak udah melebih-lebihkan angkanya deh,” Aku mengarah ke mbak voikuka yang berusaha menghindari cubitan  jengkelku.

“Nggak apa-apakan aku tambah sedikit angkanya” .Tukas mbak Voikuka yang suka sekali dengan bunga dendelion itu.

Sebenarnya itu adalah sindiran halus bagiku karena mereka sebagian tau bahwa aku memetakan soal pernikahan pada nomor urut kesekian setelah nomor pertama dikhatamkan. 


Kita semua tertawa,  pecah berserakan ke dinding-dinding asrama. Topik yang begitu sensi yang tak pernah habis dibahas.

“Lah emang mbak muty’ target usia nikahnya kapan? Eh mbak usianya tahun ini udah 24 loh”

Lidahku mendadak kelu,  pertanyaan yang ingin sekali aku hindari. Karena jawabannya adalah sebuah misteri ilahi yang tak bisa kudeteksi kapan jawaban itu telah ditulis.
Aku pura-pura mencari alibi dan mengalihkan  percakapan.
“Allahu’alam, semoga di waktu yang tepat”. Berharap tak ada lagi pertanyaan yang menggoda.

***
Seringkali aku mendapat nasehat anggun untuk segera menyegerakan separoh agama dalam waktu dekat ini. Entah itu dari Guruku, Kakak mentorku dan beberapa sahabat terdekat yang sudah lama terjalin hubungan emosional dengaku. 

Tapi ternyata aku masih menyerahkan proposal itu ke langit untuk meminta kepastian kapan waktu yang tepat setelah ikrarku padaNya telah terpenuhi. Ini hanyalah ketepatan, ketepatan waktu dan ketepatan Janji. Janji yang telah kususun rapi dalam malam panjang diatas pergelaran sajadah.

Ada satu hal  yang buat aku iba dalam diam , dan menjadi catatan pelangiku ketika membaca sebuah persepsi yang mungkin sedikit berbeda dengan kenyataan. Iyaa... ituuu,  statement sebagian orang disekelilingku yang menjugde aku akan menyesal suatu saat nanti karena belum menerima si A hanya karena ada muatan materi dengan berbagai cerita horor yang menakut-nakutiku jika aku menolak tawaran kebaikan itu.

Adapun yang mendramatisir cerita bahwa aku terlalu high level dan bla bla.. Aku tau niat baik mereka adalah bentuk kasih sayang  terhadap saudara, apalagi jika orientasinya hanya karena memiliki bendera yang sama, tapi jika sudah ada muatan ambigu yang  menjadi muqodimah apalagi secuil paksaan , apakah ini masih nyaman untuk di resapi?

Sebenarnya siapa sih yang tak berkeinginan untuk menikah? Ini adalah bentuk kalimat retoris yang jawabanya sudah jelas-jelas terbaca. Namun salahkan aku untuk sementara waktu ini masih ingin mengasing diri dari gugusan aksara yang bertemakan “nikah” ?  Ini bukan berarti aku tak ingin menikah dan tak memiliki rasa untuk menuju ke sana, tapi kondisilah yang melatarbelakangi semua ini.  Pun waktu yang memiliki peran penting untuk menyiapkan segalanya untukku, salahkah jika waktu yang tepat itu ku simpan rapi dulu dalam keheningan langit? Salahkan aku jika mengedepankan ilmu dulu sebelum  menikah?

Bagiku kelezatan menikah merupakan puncak dari kenikmatan jasad dan badan secara lahiriah yang harus kita santap ketika telah siap dihidangkan. 


Namun saat kita sudah mendapat undangan dari siapa saja,tak sopankah  jika meminta diri agar memetakan isi menu hidangan sesuai dengan prinsip dasar ilmu dulu ? untuk apa? sebagai langkah awal dalam menikmati kelezatan menikah.  Ilmu  dan mental merupakan bahan dasar dan bahan pokok dalam membangun kelezatan hati dan ruh dalam mengenal Allah. Caranya bagaimana ? Mengetahui hukum-hukum serta syariatnya.

Apabila memungkinkan untuk menyatukan kedua kelezatan  itu dengan cara yang halal maka itu adalah bentuk kesempurnaan. Namun kondisiku mengisyaratkan bahwa  aku tidak memungkinkan untuk meraih keduanya secara bersamaan kecuali dengan mengorbankan salah satunya

Mimpi utamaku masih sementara ku rajut dengan segenap rasa yang ingin fokus. Tak ingin gegabah menduakan mimpi itu dan menggantikan kedudukan posisinya dengan sesuatu yang sama-sama baik juga.

"Fokus belajar dulu yah Ty’ kamu harus fokus dulu dalam menuntut ilmu. Jika Alquran telah berhasil melekat lisan, hati dan pikiranmu, bahkan bercumbu dengan darahmu  maka tak usah risau dengan skenario Allah untukmu. Tak usah risau dengan kondisi ekonomi, pendidikan, keuangan apalagi pasangan. Ketika engkau telah berhasil membuat Allah jatuh cinta dengan tabungan hafalanmu maka tidak ada yang mustahil baginya untuk meninggikan derajatmu dan memberimu melebihi dari yang kamu harapkan.”.

Demikian nasehat saudaraku  yang sangat bijak sekali ketika menghadapi sebuah persoalan. Dia telah menikah di usia mudah dengan seorang istri yang juga memiliki kharisma ilmu pengetahuan yang tinggi sama seperti dirinya. Seorang hafidz dan seorang penulis. Namanya Abdul Razak Hulalata. Beliau Selalu saja ia memompa semangat para pembelajar  agar tak berbalik arah pada niat dan tujuan utama dalam menuntut ilmu.

Bisa jadi ini ujian bagi sang penuntut ilmu. Tugasku sekarang mencari perhatian dulu sama Allah, berusaha memperbaiki diri dengan cermin yang lebih bersih agar kelak aku tak keliru melihat mana permata dan mana batu kerikil. Begitulah perumpamaan dunia dan akherat.

Setinggi apapun ilmu yang ingin ku jadikan batu dasar dan makanan pembukaku, aku tetaplah wanita yang bercita-cita menjadi makmum bagi suamiku nanti, menjadi istri dan ibu yang bijak, baik serta pelengkap yang menyempurnakan bagi suami dan anak-anakku kelak. Makanan ini adalah bekal dan investasiku  bersama keluarga langit, senja dan cahaya.

Yang jelas setiap orang itu punya cerita masing-masing. Cuman mungkin kadang kita terlalu buta dengan apa yang tampak. So we do judge the people. Apakah kita cukup terbuai dengan tampilan semu atau cukup berani mengupas hingga bertemu dengan apa yang namanya topeng?. Yap inilah yang disebut behind the scene.

Behind the scene itu tidak selamanya bagus dan se sempurna apa yang kita lihat dilayar, karena kadang ketika kita tau apa yang berada di belakang layar persepsi kita akan berubah. So do not judge me with your word, kita punya drama keluarga yang berbeda. Nada artikulasi kita pun kadang iramanya sangat berbeda.

Sama halnya dengan ketika kita makan disebuah resto dengan hidangan makanan yang disajikan begitu menggilas air liur, enak banget dan kemudian kita melahapnya dengan kenyang sampe puas. Tapi coba kalau setelah kita lihat proses bikinya ternyata dapurnya kotor banget, belum lagi liat proses pemotongan ayamnya yang tidak dibaca bismillah dan disembelih dengan kasar. Apakah ketika makanan itu disajikan kembali kita berubah pikiran atau nafsu makan kita hilang?

Mengukur kemampuan orang lain dengan ukuran kita sendiri terlalu subjektif menurutku.  Ketika kita menilai orang itu sudah mampu dalam ilmu apa saja dan realitanya ternyata dia masih merangkak sambil manangis darah atas kebodohannya dan masih membutuhkan pijakan agar bisa berjalan sesuai apa yang diharapkan oleh langit, apakah kita tega mencetak dirinya sebelum matang berdasarkan apa yang kita mau hanya karena sebuah orientasi? hmm ^__^

Kawan..  Sel-sel otak pada wanita itu lebih sedikit dari laki-laki. Animo untuk mencari ilmu lebih banyak kepada wanita. Kenapa? Karena wanita itu kurang dari sisi agama dan akal. Urgensi dirosah islamiyah bagi wanita itu  yang ku ketahui 2 wanita = 1 laki-laki. Kenapa? Karena wanita itu memorinya kurang, pelupa. Kurang jeli , akurasinya kurang ,lebih dominasi perasaan dibanding logika. Wanita itu memiliki kekurangan akal dari sisi agama dan fakta berbicara bahwa kecerdasan anak itu mewarisi kecerdasan dari ibunya, dan aku tak ingin mewarisi kebodohan agamaku kepada anak-anakku . 

Ini adalah sekeping alasan kenapa  aku masih ingin mencari bahan baku untuk kehidupanku setelahnya. Semoga senja dan pelangi memaklumi pilihanku, dan juga kau yang masih anonim tersimpan rapi di kitab lauhul mahfudz.




Allahu’alam
#Still pembelajar yang masih butuh bahan dasar. Solo, dengan segala cerita yang masih remang.





0 senja: