Jumat, 15 Mei 2015 |

Membangun dengan kenderaan berbeda

Seluruh santri dari kelas tamhidi hingga mustawa robi’ duduk bersilah memadati masjid dengan berdesak-desakan. Pecahan suara kami sayup-sayup menyebar keseluruh ruangan bak lebah yang sarangnya dilempari batu oleh tangan-tangan jahil.

Aku  mengambil posisi tempat duduk paling depan tepatnya berhadapan dengan pemateri. Begitulah caraku agar bisa fokus dan menghindari kantuk.

 Ini adalah pertama kali aku menyaksikan ustadza Milah memberikan materi. Karena aku masih yunior jadi belum diajari oleh beliau. Beliau dosen Balaghoh di ma;hadku. Sesekali ustadza bermain  majas dalam bahasa arab ketika menyampaikan materi. Ah ingin sekali aku segera menjamahi pelajaran itu secepatnya, karena itulah yang ingin ku cari ketika memasuki ma’had bahasa arab. Aku ingin melihat relationship betwen sastra arab dan sastra inggris yang pernah aku pelajari dulu. Semoga suatu saat, aamiin 

Next..
Tadi saat opening sebelum memasuki inti materi ustadza Ainul Millah menyampaikan sebuah sya’ir yang kurang lebih begini “ Kapan sebuah bangunan itu bisa sempurna? Apabila kamu membangun tapi yang lain menghancurkannya. Seandainya ada seribu pembangun dan dibelakangannya ada satu orang saja cukup menghancurkannya, maka bagaimana dengan satu pembangunan dan belakangnya ada seribu penghancur ?

Ice break yang menggoda sehingga aku terpanggil untuk menyelami  the point of view yang akan dibahas  oleh ustdaza pada Acara Nasyad pekan ini. Sesaat kemudian ustadza melempar pertanyaan kepada seluruh santri yang tengah khusyu memperhatikan layar LCD di dinding masjid.
“Siapa yang bercita-cita ingin menjadi dai’ setelah lulus dari ma’had ini?”

Dengan spontan tanganku terasa ada yang menggerakan sehingga aku termasuk dari 6 santri yang memiliki misi  yang sama. Dari sekian banyak santri yang hadir ku pikir semua akan berjamaah mengangkat tangannya, tapi ternyata di barisanku hanya ada beberapa orang.

 Ustadza kembali meraba pertanyaannya kembali dengan harapan bahwa semua akan mengangkat tangan dan terpanggil untuk menjadi dai dikemudian hari. Namun hasilnya sama, ketambahan beberapa orang tapi dengan tangan setengah diangkat yang masih dibungkus keraguan.

Seribu orang yang membangun namun jika ada satu orang penghancur itu udah cukup, maka bagaimana jika kita hanya 6 orang?  Terus bagaimana nasib bangunan kita nanti? Bagaimana Islam kita ke depan ? Aku mulai mengait-ngaitkan syair tadi dengan kondisi yang ada.
Diluar sana ada sekian ribu bahkan juta yang berusaha melakukan kehancuran pada agama kita, kenapa kita yang mungkin hanya beberapa orang saja yang sudah dihidayahi islam dan dihadiahi ilmu dan sarana masih sangsi untuk mengurangi jumlah penghancur terhadap agama kita?

Aku tercenung dan berbisik dalam tanya,Dimana letak kesadaran kita? Kita bukanlah manusia robot yang tinggal menunggu instruksi dari tuannya tapi kita adalah mahluk istimewa yang sengaja di pilih Allah untuk mencintai ilmu agar kita mengamalkan dan  segera menggerakan diri untuk terjuan langsung ke medan dakwah dalam rangka menyelematkan saudara- saudara kita yang sudah terperangkap dalam kelompok penghancur seperti ilustrasi yg disyairkan tadi.

Inilah salah satu misi ke depanku yang ingin ku hadiahkan kepada agama Allah.  Mungkin terlalu dini jika ada sebagian orang yang mengatakan “wah kamu pengen jadi ustadzah  yang kerjanya ceramah di mesjid-mesjid ya? Kok lulusan bahasa inggris malah masuk pondok tahfidz dan bahasa arab? Nanti titelnya apa? Setelah dari situ kamu akan jadi apa? Kamu mau jadi ulama ya?. Pertanyaan iba yang mengecewakan ini selalu menjadi buah bibir orang-orang sekitarku, entah itu keluarga,kerabat, tetangga dan teman-teman.

Hehe  label yang mereka tempelkan padaku tidak semestinya dilekatkan kepada orang lulusan bahasa inggris sepertiku. Itu tidak jadi masalah karena memang bukan itu tujuanku. Iyah, tujuanku aku ingin memperbaiki isi dalam kemasan generasi selanjutnya, yang nyaris telah digerogoti para penghancur yang telah mengakar ke kalangan remaja.

Iya remaja saat ini sudah tak bisa dibedakan mana yang berbuah utrujah dan mana yang berbuah raihanah. Semuanya kabur dimakan oleh pemahaman yang keliru. Makanya setiap kali aku menulis karya fiksi  selalu saja genrenya berkaitan dengan dunia remaja.

Hanya itu mimpiku, aku ingin memperbaiki remaja lewat tangan mungilku bersama pena kecil. Sudah terlalu jauh jika ada yang mengharapkan aku menjadi pendakwah konteporer dalam hal bidang yang mungkin harus punya disiplin tersendiri. Aku tak mengharapkan sebuah gelar,  aku akan mengemas agamaku berdasarkan disiplin ilmu yang telah lama membesarkanku, tentunya berlandaskan Alqur’an dan sunnah. Dan sarana ini tidaklah cukup jika bahan dasar ilmunya belum aku sentuh, maka dari itu aku menekatkan diri untuk mencari ilmu di tangan-tangan para ulama yang ada di ma’hadku.Karena jika aku hanya belajar pada buku maka aku akan banyak mengalami kesalahan yang banyak.

Bukankah sudah dinyatakan sebelumnya bahwa pada hakekatnya kita adalah seorang dai?  paling tidak dai terhadap dirinya sendiri. Sebagian orang beranggapan menyebarkan kebaikan dan dakwah islam adalah tugas para penghuni pesantren atau ulama, padahal sesungguhnya itu adalah tugas kita semua. Jika kita hanya mengandalkan para ulama dan kiyayi maka dimana letak rasa syukur kita pada Allah atas nikmatnya islam ini? Tak inginkah kita membagikannya pada orang lain yang mungkin belum tersentuh dengan islam? Apa mesti tunggu ulama lagi? Jika ulamanya meninggal? Mau kita bawa kemana bangunan islam kita? Relakah kita membiarkan agama kita digerogoti oleh para penghancur dan dijadikan boneka?

Sebelum terlambat dan memulai mari kita memposisikan diri kita sebagai dai untuk diri dan keluarga kita dulu selanjutnya pada masyarakat dan negara. Sarananya sangat banyak, berdakwah tidak selamanya didefenisikan berdiri dipodium dan berteriak di singasana. Berdakwah tak selamanya di mesjid atau dipesantren. Dakwah itu bisa kita kemas dengan berbagai sarana yang kita mampuni asalkan ia tidak bersebrangan dengan asas kebenaran yang ada di alquran dan sunnah.

Misalanya seorang sastrwan bisa membungkus dakwahnya lewat cerita fiksi yang sarat makna yang mungkin dakwahnya tidak secara langsung bersifat dakwah verbal, tapi kita bisa membawa mereka pada satu tujuan untuk pengenalan tauhid. Semuanya bisa kita bumbu dengan nilai estetik dan nilai-nilai islami yang ada. Sebagai seorang sastra saya meyakini bahwa sastra adalah sarana bagi kami untuk mengajak orang kepada kebaikan tanpa terkesan menggurui.

Selanjutnya jika ia seorang dokter,perawat atau ahli kesehatan maka ia bisa mengemas dakwahnya dalam hal membangun kedekatan sosial atau emosional dengan para pasien untuk mengenalkan tauhid lewat profesinya, bukankah itu lebih terasa nikmatnya? Tinggal bagaimana cara kita mengemasnya agar orang itu tertarik dengan islam.

Seorang Ekonomi bisa jadi wasilah untuk melebarkan sayap kebaikan yang dibawah oleh rasulullah lewat profesinya. Jika ia memiliki power dalam hal itu maka tidaklah mustahil sistem ekonomi kita pun akan terluruskan, tinggal bagaimana ia mengemas dan membingkainya sehingga nilai tauhid bisa ia lekatkan dalam proses muamalah dan sejenis ekonomi lainya.

Seorang politisi bisa menjadi kenderaan baginya untuk menciptakan politik yang sesungguhnya. Politik yang diajarkan oleh rosulullah dengan cara penguraianya. Ini bisa jadi wasilah dakwah  untuk mengajak orang yang tertimbun kotornya politik agar bisa tercerahkan lagi setelah kehadirannya ditengah-tengah masyrakat dan negara. Kita bisa membersihkan nama politik yang terlanjur ganas dan menerkam dengan metode dan cara-cara islam yang telah kita pelajari melalui kisah dan sejarah para rosul dan nabi terdahulu.

Seorang Guru dengan berbagai jurusan apapun bisa menjadi pelengkap dakwah untuk menginspirasi seluruh siswanya dengan cara yang menarik dan inspiratif khususnya ketika mengaitkan tauhid, akhlak dsb dengan setiap materi yang akan ia ajarkan. Dalam hal ini kita sebagai guru harus cerdas membangun kedekatan emosi dengan siswa agar siswa pun mau dan tertarik dengan apa yang kita ajarkan. Tidak sekedar mengajar tapi juga kita tuntun mereka dengan terjun langsung ke dunia mereka, seperti dunia remaja.

Ini adalah mimpi ku kedua dari sekian mimpi yang ingin ku kemas dengan islam, setelah aku merasakan nikmatnya hidayah dan hijrah ketika aku diajarkan bahasa inggris oleh guru idolaku. Beliau berhasil menjadikan seluruh siswa jatuh cinta dengan islam melalui pelajaran bahasa inggris yang ia kemas secantik mungkin hingga akhirnya aku lulus SMA memutuskan mengambil bahasa inggris dan mengikuti sebagian jejaknya dalam menyiarkan islam lewat sarana apa saja.

Bapak Suparman malatia S.Pd MPd. Guru bahasa inggrisku dan juga perantaraku mengenal islam lebih jauh. Semoga Allah selalu memberkahi setiap ilmu yang ingin ia tularkan pada anak didiknya. Jika Andrea Hirata memamerkan ibu guru muslimah dalam novelnya Laskar Pelangi, maka aku pun bercita-cita ingin menyeruakan seluruh guru-guru yang menjadi inspirasiku sejak berseragam putih merah hatta putih abu-abu. Menjadi guru yang baik itu wajar tapi guru yang menginspirasi itu yang kadang sulit untuk dilupakan. Aaaahh menjadi guru itu profesi yang menyenangkan.

Hmm ..Nasyad pekan seakan membakar semangatku yang mungkin hampir menjadi bara ketika aku dilenakan oleh berbagai keinginan yang mendunia. In syaa Allah aku ingin mewakafkan diriku untuk membangun agama ini setinggi angkasa dengan bahasa langit melalui cara dan kendaraan yang mugkin berbeda dari yang lain tapi masih pada tujuan dan jalan yang sama.  Berbeda kendaraan bukan berarti kita bisa berubah menjadi hakim bukan? Maksudnya? Ia hakim yang tugasnya hanya menerjemahkan kenderaanku benar dan kendaraanmu salah.
Allahu’alam..
(Sang pembelajar yang masih merangkak)
Jumat 15 mei 2015 ketika menunggu kedatangan senja.

sumber gambar : google search

0 senja: